Pendiri Kompas - Gramedia yang Hemat, Disiplin, dan Tekun

Entrepreneurship / 3 September 2010

Kalangan Sendiri

Pendiri Kompas - Gramedia yang Hemat, Disiplin, dan Tekun

Lois Official Writer
7674

Peng Koen Auw Jong yang kemudian lebih dikenal dengan nama PK Ojong (Petrus Kanisius Ojong) adalah salah satu pendiri Kelompok Kompas – Gramedia. Dia merupakan seorang jurnalis yang berpikir mulia. Baginya idealisme tak boleh berjalan sendirian, tapi harus didampingi kecerdasan, kepiawaian berusaha, dan watak nan indah.

Meskipun sudah meninggal sejak tahun 1980, PK Ojong dikenal dengan kerja kerasnya selama masa hidupnya. Sebagai kuli tinta, sejak awal usia 30-an, PK Ojong sudah dihadapkan pada pilihan rumit, berpena tajam atau dibredel. Rasanya, mustahil menjadi jurnalis idealis. Beruntung dia punya ‘penasihat spiritual’ berhati emas yang banyak memberinya pelajaran.

Sejak lahir di Bukit Tinggi, 25 Juli 1920, dengan nama Peng Koen Auw Jong, Ojong sudah dikaruniai hal-hal tak terkira. Sang ayah, Auw Jong Pauw, sejak dini giat membisikkan kata hemat, disiplin, dan ketekunan di telinganya. Jong Pauw yang petani di Pulau Quemoy (sekarang wilayah Taiwan) selalu memimpikan kehidupan yang lebih baik. Maka dia merantau ke Sumatera, tepatnya di Sumatera Barat.

Meski sudah menjadi juragan tembakau, trilogy hemat, disiplin, dan ketekunan tetap dipegang oleh keluarga ini yang terdiri dari 2 istri dan 11 anak. Istri pertama Jong Pauw meninggal setelah melahirkan anak ketujuh. Ojong sendiri merupakan anak sulung dari istri kedua. Saat Ojong kecil, bisa dibilang mereka keluarga kaya. Di Payakumbuh yang jumlah mobilnya tidak sampai sepuluh, mereka punya mobil.

Sampai akhir hayat, Ojong selalu memegang perkataan ayahnya. Dia selalu menghabiskan nasi di piring dan tidak pernah menyentong nasi lebih dari yang kira-kira dapat dihabiskan. Bahkan setelah menjadi bos Kompas – Gramedia, Ojong tak berubah. “Uang kembalian Rp 25,- pun mesti dikembalikan kepada papi,” cerita putri bungsunya, Mariani.

Namun ia tak pelit pada orang atau badan sosial yang benar-benar membutuhkan, bahkan rela menyumbang sampai puluhan juta dolar. Ojong berdisiplin tinggi dan serius. Saat bersekolah di Hollandsch Chineesche School (HCS, sekolah dasar khusus warga Cina) Payakumbuh, Ojong banyak bertanya. Di rumah, dia suka bertanam. Jika adik-adiknya belum mandi sebelum pukul 17.00 maka dia akan menyeret mereka ke kamar mandi.

Kakak-kakak (tiri)-nya menganggap dia sebagai ‘orang dewasa’. Ia memang terlihat cepat matang dan senang ngobrol dengan orang dewasa di kedai kopi. Di Hollandsche Chineesche Kweekschool (HCK, sekolah guru) dia gemar membaca koran dan majalah. Dia malah sampai menelaah cara penulisan dan penyajian gagasan.

Ojong masuk Katolik dengan nama baptis Andreas. Semasa kuliah hukum, dia dikenal sering terlalu serius menanggapi segala hal. Awal karirnya dimulai sebagai seorang guru sebelum dia menjadi seorang jurnalis. Karir gurunya berakhir ketika Jepang menyerang Indonesia dan menutup semua sekolah yang ada saat itu.

Sebagai jurnalis, dia juga bekerja untuk Star seminggu kali, majalah Malaysia. Selama itu juga, dia mempunyai kesempatan untuk bekerja dengan Felix Tan.

Lalu, dia mendirikan Kompas – Gramedia bersama Jakob Oetama. Namun dia memulai perjuangannya dengan mendirikan Intisari bersama Jacob Oetama, J. Adisubrata, dan Irawati pada 17 Agustus 1963. Intisari kemudian disebut-sebut sebagai ‘ibu susu’ dari Kompas yang lahir dua tahun sesudahnya. Ojong pernah sampai harus mengucapkan permintaan maaf atas ketidakmampuan redaksi memberikan yang terbik untuk pembacanya. Masa riuhnya Gestapu / PKI tahun 1965, sempat membuat media massa yang diasuh Ojong goyang, namun mereka dapat bangkit kembali. Meskipun Ojong telah pergi, tapi dia tidak pernah benar-benar mati. Ojong mempunyai enam anak, empat di antaranya adalah laki-laki.

Sumber : berbagai sumber/lh3
Halaman :
1

Ikuti Kami